Adanya pencetusan tersebut tak lepas dari tugas Departemen P dan K Menteri Muda Urusan Pemuda (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) dikala itu yakni Bapak Daoed Joesoef. Pak Daoed Joesoef ini menjabat sebagai Mentri Pendidikan dan Kebudayaan di Indonesia semenjak tahun 1978 hingga tahun 1983. Tak heran jikalau dia bisa menempati posisi tersebut jikalau melihat dari riwayat pendidikan beliau.
Baca juga Nama-Nama Menteri Pendidikan semenjak 1945 hingga SekarangPak Daoed Joesoef meraih gelar sarjana fakultas ekonomi UI pada tahun 1956 dan meraih dua gelar doktor di bidang Ilmu Keuangan Internasional tahun 1967 dan Ilmu Ekonomi tahun 1973 dari Universitas Sorbonne, Prancis. Kiprahnya di dunia pendidikan juga dilihat dari keikutsertaan dia untuk menjadi salah seorang tokoh yang turut andil dalam mendirikan organisasi CSIS (Centre for Strategic and International Studies). Organisasi tersebut mempunyai efek yang besar dalam menyumbangkan pemikirannya di kurun orde baru.
Sebuah pemikiran gres tentunya memunculkan bermacam-macam reaksi. Begitu pula dengan kebijakan gres dia ini. Salah satunya muncul dari Prof Sunarjo SH yang dulunya pernah menjabat sebagai rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Mentri Dalam Negri. Beliau tidak ingin akseptor didik dijadikan kelinci percobaan terus menerus tanggapan berubahnya sistem pendidikan. Ali Sadikin yang dulunya menjabat sebagai gubenur menambahkan bahwa hendaknya mentri tidak seenaknya merubah sistem pendidikan yang ada, dan semua itu konkrit dan benar-benar mempunyai dasar hukum.
Menghadapi semua reaksi tersebut, pak mentri ini tetap berjuang menyuarakan pendapatnya dan alasan alasan dibalik pengambilan kebijakan tersebut. Bahkan untuk merealisasikan pengunduran waktu tersebut pak mentri pun juga mengeluarkan kebijakan untuk mengundur kelulusan akseptor didik dan mengisi waktunya dengan mengajarkan materi tambahan. Adapun untuk SPP yang menjadi tanggungan wali murid, ada kebijakan untuk menarik hanya 50% dari biaya seharusya.
Nah, gotong royong apa saja sih alasan pak Daoed Joesoef?
Yuk kita simak alasan dia mengambil kebijakan ini.
Apa alasan dibalik pengambilan kebijakan tersebut?
1. Tahun fatwa yang dimulai pada bulan januari menyulitkan proses perencanaan pendidikan.
Dengan melihat dari pengalaman sebelumnya, ternyata jikalau tahun fatwa dimulai pada bulan januari itu kontras dengan selesai tutup buku anggaran. Oleh sebab itu kebijakan ini dibentuk untuk menyusaikan dengan permulaan tahun dana anggaran.
2. Kebijakan ini juga diambil dengan mempertimbangkan penetapan fatwa gres di luar negeri.
Beliau mempertimbangkan masa depan pemuda-pemudi indonesia yang ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri supaya bisa melaksanakan persiapan sehingga tidak membuang waktu terlalu lama.
Tahun fatwa gres di luar negeri tentunya membutuhkan biaya untuk persiapan, mengurus administrasi, dan keperluan lainnya. Nah dengan adanya kebijakan fatwa gres di bulan juli mereka mempunyai cukup waktu untuk mempersiapkan itu semua.
Tahun fatwa gres di luar negeri mempunyai kebijakan yang berbeda-beda. Misalnya di negara jepang yang memulai tahun fatwa gres di bulan April, Di korea selatan pada bulan Maret dan di Australia di mulai di awal tahun. Nah jikalau di Indonesia berakhir di bulan juni tentunya untuk persiapannya tidak membuang waktu terlalu usang bukan?
3. Libur panjang pada bulan desember bertepatan dengan datangnya demam isu hujan
Selain dua hal di atas, salah satu hal yang menjadi pertimbangan dia yaitu dari segi kondisi cuaca di Indonesia. Bulan desember itu bertepatan dengan demam isu penghujan yang cukup lebat, dan dalam kondisi ini tentunya bisa mengganggu liburan anak-anak. Untuk berlibur keluar kota pun cukup beresiko.
Nah, itu tadi yaitu beberapa alasan mengapa tahun fatwa gres di Indonesia di mulai dari bulan juli. Dan kebijakan ini ternyata kebijakan ini masih cukup awet, sebab hingga kini masih diterapkan.
Bagaimana berdasarkan Anda? Enak bulan Januari atau bulan Juli?. Semoga ini menjadi gosip yang bermanfaat.
Post a Comment
Post a Comment